Menapak Citra di China
oleh Kuss Indarto
Karya Indra Dodi yang bakal terpampang di The 4th Beijing International Art Biennale, China 2010 bertajuk “The Journey Record of Human” (150×170 cm). (foto: indra dodi)
DELAPAN perupa Indonesia telah siap menghadirkan karya-karyanya dalam The 4th Beijing International Art Biennale, China 2010 (BIAB-4) yang dimulai 20 September 2010 mendatang. Karya-karya tersebut terpilih dari hasil seleksi oleh tim kurator yang dilakukan lewat foto karya yang dikirimkan beberapa bulan sebelumnya. Namun tampaknya tidak semua seniman akan berangkat pada perhelatan itu karena panitia BIAB-4 hanya menanggung biaya pengiriman karya.
Para duta seni rupa dari Indonesia itu masing-masing adalah Sulistyono dari Banjarmasin, Uce Alamsyah L. (Oetje Lamno) dan Indra Dodi dari Yogyakarta, serta lima perupa dari Bali, yakni Antonius Kho, Made Supena, Nyoman Sujana Kenyem, Made Gunawan, dan Putu Edi Asmara. Mereka semua mengikutkan karyanya berupa lukisan.
Indra Dodi, salah satu seniman yang karyanya lolos seleksi, mengaku cukup terkejut. Apalagi BIAB sendiri, meski relatif masih baru, namun ditangani dengan cukup serius untuk menjadi perhelatan seni rupa berlevel dunia. Indra menerima kabar gembira itu ketika dirinya masih berada di Jerman untuk sebuah mengikuti program seni rupa bersama beberapa seniman Indonesia dan Jerman. Persisnya di kota Dresden. Dia mendapat surat yang dilayangkan lewat pos, dan diberitahukan oleh perwakilan ekspedisinya via e-mail. Maka, dengan segera juga dia mengirimkan fisik karyanya (lukisannya) ke Beijing meski terbilang cukup terlambat beberapa hari.
Jauh-jauh hari, Dodi mengaku serius menyiapkan sebuah karya yang dikhususkan untuk perhelatan BIAB-4 yang dirasanya sangat kompetitif ini. Namun demikian, dia tak mengubah identitas visual karyanya seperti yang selama ini menjadi pilihan kreatifnya. Karyanya yang berukuran 150×170 cm itu diberinya judul “The Journey Record of Human”. Sayangnya, Dodi tak bisa menyaksikan karyanya bersanding bersama ratusan karya seniman lain dari banyak negara di venue The National Art Museum of China, Beijing, China. Pendekatan terhadap seorang kolektor yang juga pemilik galeri sudah dilakukannya untuk menjadi sponsor bagi keberangkatannya ke negeri Tirai Bambu itu, namun tak berhasil.
Situasi yang sama juga dialami oleh Oetje Lammo. Memang akan lebih sempurna andai bisa terbang ke Beijing untuk menyaksikan karyanya yang bertajuk “Our” (140×120 cm) bertarung dengan karya seniman mancanegara. Tapi, kiranya, dengan lolosnya karya ke event penting ini sudah sangat membanggakan alumnus FSR ISI Yogyakarta angkatan (masuk) 1998 ini. Karyanya kali ini juga dikreasinya dengan tak kalah serius seperti Indra Dodi dan seniman lain. Titik beda yang diakuinya kentara pada karyanya adalah pada upayanya untuk menampilkan atmosfer monokrom (dominan satu warna) pada bentangan karya di kanvasnya.
Sedangkan Sulistyono, seniman dari Banjarmasin, menyatakan akan bertolak dari Indonesia lima hari sebelum pembukaan, atau tanggal 15 September 2010. Rencananya, dia juga akan mengikuti simposium yang pasti penting bagi dirinya. Apalagi selama di Beijing panitia akan menanggung seluruh biaya akomodasi, transportasi dan konsumsi. Tentu cukup nyaman, seperti halnya ketika dia juga berkesempatan mengunjungi kota Beppu, Jepang, beberapa tahun lalu saat dia menjadi salah satu finalis kompetisi seni lukis di kota itu. Sementara di negerinya sendiri, dia jarang mendapat “tempat”.
Perhelatan BIAB-4 ini sendiri bertema “Environment Concern and Human Existence”. Tema yang berkait dengan isu ihwal lingkungan memang tengah begitu “seksi” karena sudah menjadi perhatian universal dan seniman pun juga dibutuhkan peransertanya untuk mengalamatkan gerak kreatifnya terhadap masalah krisis ekologi global. Maka, seperti yang tertera dalam konsep kuratorial BIAB-4, problem “ekologi” tak sekadar mengacu pada ekologi natural, namun juga terhadap ekologi manusia. “Rumah tinggal” tidak sebatas pada pengertian tentang lingkungan fisik, tetapi juga pada rumah spiritual. Dan, kurang lebih, pada aspek inilah seniman kemudian disugesti untuk menerjemahkan dalam dunia visual masing-masing.
Tim kurator pada BIAB-4, seperti halnya pada perhelatan sebelumnya, terbilang “unik”. Setidaknya pada sisi jumlah yang begitu banyak, yakni ada 26 kurator. Dari jumlah itu, ada 3 kurator yang berposisi sebagai Chief Curators, yakni Jin Shangyi, Liu Dawei, Feng Yuan dan Wu Changjiang. Lalu ada dua orang International Curators, masing-masing Vincenzo Sanfo dan Gustafsson Roger. Serta ada Tim Kurator sebanyak 20 orang, yakni: Ding Ning, Shui Tianzhong, Wang Zhong, Wang Mingming, Wang Yong, Sun Ke, Liu Jian, Liu Xilin, Zhang Xuguang, Zou Wen, Shao Dazhen, Li Ronghai, Fan Di’an, Yuan Yunfu, Weng Jianqing, Tao Qin, Sheng Yang, Zhan Jianjun, Xue Yongnian, Wei Xiaoming. Dua di antara Tim Kurator ini ada yang berperan sebagai coordinator: Wang Yong, Tao Qin.
Mengenai jumlah peserta BIAB-4 tahun 2010 ini, belum diketahui secara persis. Dalam website resmi panitia belum merilis data dan angka tentang itu. Namun dari sedikit data dan ilustrasi sederhana bisa diduga bahwa perhelatan ini telah berkembang menjadi salah satu biennale yang disasar oleh banyak seniman. Misalnya, menurut panitia, BIAB-1 (2003) menampilkan 677 karya dari 329 seniman yang berasal dari 48 negara. Kala itu Beijing dan kawasan Asia Timur lainnya tengah dirundung epidemi “SARS” yang meneror bagi banyak orang. Berikutnya, BIAB-2 (2005) meningkat dengan jumlah karya sejumlah 778 buah, hasil kreasi 632 seniman dari 69 negara. Dan, BIAB-3 diundur setahun menjadi tahun 2008, telah melibatkan 701 seniman dari 81 negara dengan jumlah karya 747 buah. Perhelatan itu juga tidak disia-siakan oleh publik karena, masih menurut panitia, tiap hari disaksikan oleh sekitar 20.000 pengunjung.
Selamat untuk para duta seni rupa Indonesia! Semoga menapakkan jejak indah di China. ***
sumber : http://indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=128